“CANTING"
KEKELUARGAAN
A. SInOpsis
Keputusan
yang sangat mengejutkan dibuat oleh Raden Ngabehi Setrokusumo untuk
keluarganya. Karena Raden Ngabehi Setrokusumo mencintai seorang gadis yang
bernama Tuginem yang tak lain adalah seorang buruh batik di tempat kerjanya
yang mengabdi turun temurun kapada keluarganya. Pengusaha batik tradisional
merk Canting di Solo tersebut ingin menikah dengan Tuginem yang bukan berasal
dari kalangan keraton. Pernikahannya mendapat tentangan dari keluarga besar
Raden Ngabehi Setrokusumo. Namun pernikahan itu tetap berlangsung dan walaupun
tanapa persetujuan dari keluarga besarnya.
Walaupun
pernikahan tersebut mendapat banyak tentangan dari keluarga besar Ngabei tetapi
pernikahan tersebut tetap bahagia dan harmonis. Setelah menikah dengan Ngabehi
gadis yang menjadi buruh batik itu dipanggil Bu Bei. Kemudian Bu Bei membantu usaha
batik yang didirikan oleh suaminya. Selama menjadi istri Ngabehi, Bu Bei
menjadi istri yang berbakti lahir dan batin.
Ketika
Bu Bei sudah menjadi seorang wanita karier yang sukses, ia tidak meninggalkan
tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Dari
pernikahan tersebut mereka dikaruniai enam orang anak. Mereka bernama Wahyu
Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewsunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewa murti,
dan si bungsu Subandini Dewa Putri. Tugas Bu Bei sebagai seorang istri priyayi
menjadi semakin berat karena beliau harus mengurusi keenam anaknya yang
merupakan tanggung jawabnya dan semakin berat tugasnya ketika menjadi wanita
karier yang mengambil alih serta meneruskan perusahaan batik milik suaminya. Bu
bei mulai belajar menjadi wanita karier yang memiliki keberaniaan memutuskan
masalah-masalah yang sulit dna menagmbil keputusan yang penting. Ia membesarkan
anaknya hingga mereka menikah dan mempunyai anak.
Anaknya
bernama Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel,
Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma manjadi insinyur, Wening
Dewamurti menjadi menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses,
serta si bungsu Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Karena faktor usia
yang sudah semakin tua, kekuatan Bu Bei dalam menangani usaha batiknya serta
dalam mengurus rumah rumah tangganya semakin berkurang. Kekuatannya dalam
menangani para pedagang di pasar Klewer Solo, tempat usaha menjajakan batik
Canting produk buatannya mulai menurun. Padahal batik Canting produk mereka
mulai mendapat saingan berat dari batik modern. Tidak lama kemudian Bu Bei
meninggal setelah kejadian yang menggemparkan itu.
Kemudian
sebagai anak bungsu Subandini Dewaputri yang kerap dipanggil dengan Ni meneruskan
dan mengambil alih usaha batik milik keluarganya itu. Persoalan demi persoalan
mulai muncul, Ni dicurigai sebagai anak hubungan gelap. Sebagai bapak yang
bijaksana Pak Bei tampil meyakinkan, untuk menyelesaikan masalah. Namun
diantara anak-anaknya yang lain mulai timbul persaingan yang tidak sehat,
antara keluarga itu terjadi pertikaian yang terselubung. Mereka tidak setuju
jika Ni melanjutkan usaha batik ibunya. Akan tetapi Ni tetap bersikukuh ingin
melanjutkan batik milik ibunya. Meskipun sudah diganti merk tetap saja batik
Canting itu tetap tenggelam, karena bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang
lebih besar. Sampai pada akhirnya Ni jatuh sakit dan hampir saja meninggal. Di
dalam kondisi itu buruh dari usahanya tetap mencintainya karena kebijaksanaannya
dalam menangani pabriknya.
Akhirnya
Ni melahirkan pemikiran dan sikap baru bahwa canting tidak perlu diangkat
tinggi-tinggi. Canting sekarang bukanlah Canting yang dianggap adi luhung oleh
sebagaian besar pemakainya. Dengan bantuan keluarga dan buruh pabriknya usaha
batiknya berangsur-angsur pulih. Salah satu penyebab kemunduran usaha batiknya
adalah mesalah merk, kemudian ia mengganti nama Canting dengan Canting Daryono.
Batik
yang dijalankan Ni perlahan-lahan mulai pulih, keputusan mengganti merk Canting
menjadi Canting Daryono merupakan kputusan yang sangat tepat. Kemudian
Subandini menikah dengan Hermawan, tepat pada hari selamatan setahun
sepeninggal ibunya. Sampai akhirnya dia melahirkan anak pertamanya yang diberi
nama sama dengan merk batiknya yaitu Canting Daryono.Hermawan pria yang setia,
dia rela menunggu Ni selama menangani usaha keluarganya.
Usaha
batik yang dirintis keluarga Subandini akhirnya dapat tertolong dari
kemunduran. Sekarang batiknya mulai berkembang pesat dan maju. Canting daryono
tidak hanya terkenal dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Akhirnya
semua hidup berbahagia dengan rasa syukur dan suka cita.
B. MakNa
Novel
ini menggunakan pendekatan Feminisme Dalam novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto jalan ceritanya berkisar antara kehidupan keluarga Raden Ngabehi
Setrokusumo. Dalam cerita yang sudah dibaca oleh penus dapat dipaparkan
mengenai makna feminisme yang terdapat dalam novel Canting. Novel Canting
menceritakan kehidupan seorang wanita yang berjuang mempertahankan usaha
keluarganya yaitu dalam perusahaan batik.
Inti
dari tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar
sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Pertama mengenai
peran Bu Bei sebagai seorang perempuan tegar, sanar dan bijaksana, serta penuh
tanggung jawab dan penuh pengabdian terhadap suami dan anak-anaknya. Selain
itu, Bu Bei jega perempuan pekerja keras. Dia ikut menangani usaha batik
suaminya yaitu Raden Ngabehi Setrokusumo, dengan sangat baik dan ulet.
“Untuk usianya yang tiga puluh dua tahun, bu Bei masih menampakkan
kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah wajahnya yang
selalu nampak bercahaya. Rasanya tak ada masalah yang tidak bisa dihadapi dan
diselesaikan dengan baik, dengan memuaskan.Cahaya dari wajah Bu Bei adalah
cahaya dari suatu kebahagiaan. Kebahagiaan seorang wanita yang berhasil mengisi
hidupnya dengan suatu kerja yang panjang dan bekti yang tulus kepada suami”. Usaha yang mereka kerjakan bersama–sama
itu akhirnya berkembang pesat dan maju. Walaupun dia membantu suaminya, dia
tidak lupa akan kewajibannya sebagai seorang ibu. Keenam anaknya menjadi
orang yang sukses.
Selain tokoh Bu Bei ada juga tokoh lain, yaitu Subandini atau akrap
dipanggil Ni anak Bu Bei. Ketika melihat pabrik orang tuanya mengalami
kemunduran dan Ibunya jatuh sakit dia memutuskan mengambil alih usaha orang
tuanya itu. Dengan semangat dia
berusaha agar pabrik mereka tidak hancur dan dia berhasil.
Sebagai seorang wanita kita
harus bisa mencontoh kedua tokoh tersebut. Tokoh yang mau bekerja keras dan
tidak mudah putus asa. Selain itu novel Canting
juga mengajarkan pada kita agar tidak melupakan kewajiban sebagai seorang istri
yang harus melayani suami dan mengurus rumah. Sesibuk apapun seorang istri
harus menyempatkan diri mengurus rumah tangganya.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Atmowiloto,
Arswenda. 1986. Canting. Gramedia.
Oktavian Aditya Nugraha
Kamis, 16 Januari 2013/ 23.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar